Sunday, March 18, 2007

Bolehkah aku "menjinakkanmu"...??

“Kemari, bermainlah denganku,” kata pangeran kecil. “Aku sangat sedih.”

“Aku tidak bisa bermain denganmu,” kata rubah. “Aku belum dijinakkan.”

“Ah! Maafkan aku,” kata pangeran kecil. Tetapi, seetelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan:

“Apa artinya itu – ‘menjinakkan’?”

“Itu adalah tindakan yang sering diabaikan,” kata rubah. “Menjinakkan artinya menjalin ikatan.”

“’Menjalin ikatan’?”

“Begitulah,” kata rubah. “Bagiku, kamu saat ini tidak lebih dari seorang bocah kecil yang sama saja dengan ribuan bocah kecil lainnya. Dan aku tidak membutuhkanmu. Dan kamu sendiri tidak membutuhkan aku. Bagimu, aku tidak lebih dari seekor rubah seperti ratusan ribu rubah lainnya. Tapi jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kamu akan menjadi satu-satunya di dunia. Bagimu, aku akan menjadi satu-satunya di dunia…”

“Hidupku sangat membosankan,” kata rubah. “Aku berburu ayam, manusia memburuku. Semua ayam sama saja, dan semua manusia sama juga. Dan, akibatnya, aku jadi agak bosan. Tapi jika kamu menjinakkan aku, akan terasa seolah matahari menyinari hidupku. Aku akan mengenali suara langkah yang terdengar berbeda dari semua langkah lain. Langkah-langkah lain akan mendorongku bergegas kembali ke bawah tanah. Tapi langkahmu akan memanggilku, seperti musik, keluar dari persembunyianku. Dan coba lihat: Kamu lihat ladang gandum jauh disana? Aku tidak makan roti. Gandum tidak punya arti apa-apa bagiku. Dan itu menyedihkan. Tapi rambutmu berwarna emas. Pikirkan betapa indah jadinya nanti jika kamu telah menjinakkan aku! Butir-butir gandum, yang juga berwarna keemasan, akan membuatku ingat kepadamu. Dan aku akan senang sekali mendengarkan suara angin yang meniup butir-butir gandum….”

Lama, rubah itu menatap sang pangeran kecil.

“Tolong – jinakkan aku!” katanya.

“Aku ingin, ingin sekali,” sahut pangeran kecil.

“Tapi aku tidak punya banyak waktu. Ada banyak teman yang harus kucari, dan banyak hal yang harus kumengerti.”

“Orang hanya bisa mengerti hal-hal yang dijinakkannya,” kata rubah. “Manusia tidak punya waktu lagi untuk mengerti apa pun. Mereka membeli barang-barang yang telah tersedia di toko. Tapi dimana-mana tidak ada toko yang menjual persahabatan, dan karenanya manusia tidak punya teman lagi. Jika kamu ingin punya teman, jinakkan aku….”

“Apa yang harus aku lakukan, untuk menjinakkan kamu?” tanya pangeran kecil.

“Kamu harus sabar sekali,” sahut rubah. “Pertama-tama kamu duduk agak jauh dariku—seperti itu—di atas rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku, dan kamu tidak boleh bilang apa-apa. Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tapi kamu akan duduk lebih dekat denganku setiap hari….”

Maka pangeran kecil menjinakkan rubah. Dan ketika waku perpisahan mereka hampir tiba—

“Ah,” kata rubah, “Aku akan menangis.”

“Itu salahmu sendiri,” kata pangeran kecil. “Aku tidak pernah berkeinginan mencelakaimu sama sekali; tapi kamu ingin aku menjinakkan kamu…”

“Ya, memang begitu,” kata rubah.

“Tapi sekarang kamu akan menangis!” kata pangeran kecil.

“Ya, memang begitu,” kata rubah.

“Jadi itu tidak mendatangkan kebaikan bagimu sama sekali!”

“Itu baik untukku,” kata rubah, “karena warna ladang gandum itu.” Lalu dia menambahkan:

“Pergi dan lihatlah lagi bunga-bunga mawar itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan selamat tinggal padaku, dan aku akan memberimu hadiah berupa sebuah rahasia.”

Pangeran kecil pergi, untuk melihat kembali bunga-bunga mawarnya.

“Kamu sama sekali tidak seperti bunga mawar milikku,” katanya pada bunga-bunga. “Jadi kamu tidak ada artinya. Tidak ada yang menjinakkan kamu, dan kamu tidak menjinakkan siapa-siapa, kamu seperti rubahku ketika pertama kali aku mengenalnya. Dia hanya seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini dia menjadi satu-satunya di seluruh dunia.”

Dan mawar-mawar itu sangat malu.

“Kamu cantik, tapi hampa,” lanjutnya. “Tidak ada yang bersedia mati demi kamu. Tentu, orang yang lewat akan mengira bahwa bunga mawarku tampak persis seperti kamu—mawar yang kumiliki. Tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lain: sebab dialah yang kulindungi di balik tabir; karena demi dialah aku membunuh ulat (kecuali dua atau tiga diantara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu); karena dialah aku mau mendengarkan , ketika dia mengomel, atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawar ku.”

Dan dia kembali untuk menemui rubah.

“Selamat tinggal,” katanya.

“Selamat jalan,” kata rubah. “Dan sekarang, inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar; hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata.”

“Apakah yang terpenting yang tidak dapat dilihat mata?” ulang pangeran kecil supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.

“Manusia telah melupakan kebenaran ini,” kata rubah. “Tapi kamu tidak boleh melupakannya. Kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu…”

Taken from SheilaTorey Hayden

1 comment:

RoSa said...

jadi inget satu momen,

malam hari, di luar langit tak berbintang, berbincang bersama seseorang...

di resto Jepang cepat saji
ya!

itu ceritanya kala itu padaku...